Di tengah lingkungan perumahan yang tenang di pinggiran Kyoto, Jepang, terdapat sebuah bukit setinggi 30 kaki, tertutup rumput.
Tempat ini merupakan makam dari 38.000 hidung pria, wanita dan anak-anak yang dibantai selama invasi Jepang ke Korea selama akhir abad ke-16.
Dipimpin oleh panglima perang Toyotomi Hideyoshi, Jepang menginvasi Korea pada tahun 1592 dengan tujuan menaklukkan Semenanjung Korea dan Cina, yang pada waktu itu berada di bawah dinasti Ming.
Pasukan Jepang sebagian besar berhasil menaklukkan Semenanjung Korea, tetapi tidak dapat mengalahkan Cina.
Hideyoshi dan pasukannya mundur, tetapi kembali pada tahun berikutnya 1597, dengan serangan kedua. Tetapi sekali lagi, pertahanan yang kuat dari pasukan gabungan Ming dan Joseon dari Korea, memaksa Jepang untuk mundur ke semenanjung Selatan, di mana kedua pasukan lawan terkunci dalam kebuntuan militer selama sepuluh bulan. Permusuhan berakhir setelah kematian mendadak Toyotomi Hideyoshi pada tahun 1598.
Pada masa itu, para pejuang sering memotong kepala musuh yang mereka bunuh sebagai bukti kemenangan mereka.
Kepala-kepala itu diasinkan, dikemas dalam tong-tong dan dikirim kembali ke Jepang untuk dihitung. Para jendral akan diberi imbalan sesuai dengan jumlah kepala musuh yang mereka bunuh.
Ketika invasi berlangsung, jumlah kepala musuh yang dikirim dari medan perang menjadi tidak mungkin dikirim keseluruhan. Akhirnya, diputuskan bahwa hanya hidung yang akan dikumpulkan.
Stephen R. Turnbull dalam bukunya Samurai Invasion, menceritakan kisah seorang bhikkhu Jepang yang menggambarkan kekejaman mengerikan yang diderita penduduk sipil.
Menurut Stephen R. Turnbull, pasukan Hideyoshi mengumpulkan 185.738 kepala orang Korea dan 29.014 orang Tiongkok. Tidak mungkin untuk mengetahui jumlah sebenarnya korban karena banyak kepala mungkin telah dibuang. Di sisi lain, tidak semua hidung mayat dipotong. Untuk meningkatkan jumlah, banyak tentara menebas hidung orang yang masih hidup. Orang-orang Korea yang dilaporkan selamat selama bertahun-tahun, hidup tanpa hidung atau telinga.
Baca juga :
Henry Cotton, Dokter Gila Yang Cabuti Gigi Dan Organ Pasiennya
Hidung yang dikirim ke Jepang dimakamkan di dua tempat di Kyoto dan Okayama.
Di Kyoto, Hideyoshi memerintahkan agar hidung yang diiris dikuburkan dibawah Kuil Hokoji dan sebuah kuil yang akan dibangun di atas gundukan penguburan — suatu gerakan yang tidak biasa yang oleh kepala pendeta kuil mengklaim mencerminkan "rahmat yang luar biasa dari Hideyoshi."
Tidak diketahui secara pasti mengapa Hideyoshi memilih untuk menghormati para korbannya dengan penguburan cara Buddha.
Mimizuka Mound menjadi tempat ziarah bagi orang Korea yang bepergian ke Jepang. Kuil ini awalnya dikenal sebagai hanazuka, atau "gundukan hidung", tetapi beberapa dekade kemudian beberapa orang berpikir nama itu terlalu kejam, dan mengubahnya menjadi mimizuka, yang berarti "gundukan telinga".
Comments
Post a Comment