Menurut psikologi sosial, perbedaan jenis kelamin biologis terutama perempuan, sering digambarkan sebagai sosok yang lebih baik dan lembut. Mereka cenderung dilukiskan sebagai korban di berbagai skenario. Skor mereka dalam kepribadian relatif lebih baik dibandingkan dengan laki-laki, mereka juga cenderung jadi korban penerima manfaat dari berbagai bentuk dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam sebuah penelitian baru-baru ini yang diterbitkan oleh New Paltz Evolutionary Psychology Lab (Widman, Philip, & Geher, 2018), ditemukan konteks di mana perempuan tampaknya lebih keras dibandingkan dengan laki-laki - berkaitan dengan kasus poligami yang terdokumentasi.
Poligami merupakan suatu hubungan yang mencakup lebih dari dua mitra monogami. Misalnya, seorang pria mungkin memiliki banyak wanita sebagai pasangannya, atau sebaliknya. Poligami yang paling umum dilihat adalah ketika seorang pria memiliki banyak wanita sebagai pasangan. Poliandri yang kurang umum ada ketika seorang wanita memiliki banyak pasangan pria.
Sebuah perspektif evolusi tentang hubungan antara biologi dan perilaku kawin dapat menjelaskan mengapa poligami lebih umum daripada poliandri. Singkatnya, karena perincian sistem reproduksi pria dan wanita. Pria memiliki investasi biologis yang lebih kecil yang diperlukan untuk dapat bereproduksi sama sekali (satu tindakan seksual) dibandingkan dengan wanita, yang memiliki investasi orangtua yang sangat tinggi untuk dapat bereproduksi (termasuk kehamilan, menyusuidan lebih banyak lagi).
Sistem perkawinan poligami, di mana pria memiliki banyak wanita sebagai pasangan, umumnya cocok dengan perbedaan jenis kelamin ini dalam investasi orangtua yang diperlukan dari sistem polyandrous. Untuk alasan dasar ini, dalam perkiraan umum masyarakat, kedua bentuk poligami itu ilegal, akan tetapi ada bias yang lebih menyukai poligami dibandingkan dengan poliandri.
Orang-orang dalam skenario hipotetis memberikan penilaian yang relatif lebih keras dalam kasus-kasus poliandri (ketika seorang wanita dinyatakan bersalah memiliki banyak pasangan), dibandingkan dengan kasus-kasus poligami (ketika seorang pria dinyatakan bersalah memiliki banyak pasangan).
Dalam penelitian yang dilansir dari laman Psychology Today, dengan mempelajari lebih dari 300 orang dewasa dari AS, pria dan wanita, yang sebagian besar merupakan mahasiswa di Pennsylvania atau New York.
Mereka diminta untuk membuat penilaian dalam hal seberapa keras mereka memberi hukuman untuk empat orang target yang berbeda yang dinyatakan bersalah atas poligami. Setengah dari target yang mereka buat penilaian adalah pria sedangkan setengahnya wanita. Lebih lanjut dalam setengah skenario, pelaku memiliki anak, sementara setengah lainnya, pelaku tidak memiliki anak.
Ternyata jenis kelamin pelaku tidak berpengaruh pada kerasnya putusan. Peserta tidak lebih lunak dalam berpikir tentang hukuman perempuan, relatif terhadap laki-laki (atau sebaliknya). Namun, dua efek utama yang substansial muncul. Pertama, jika pelaku memilki anak, mereka diberi hukuman yang lebih keras. Kedua, perempuan menjadi 'hakim' yang lebih keras, dibandingkan laki-laki.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan mengapa perempuan lebih keras dalam menilai daripada laki-laki. Seperti yang diketahui dalam budaya monogami seperti sebagian besar masyarakat lakukan, dibandingkan dengan laki-laki, rata-rata perempuan, dari perspektif evolusi, akan lebih rugi jika orang lain di komunitas mereka terlibat dalam poligami.
Jika pria selingkuh, itu bisa menjadi tanda bahwa pasangan wanita mereka mungkin dianggap tidak dapat dipercaya untuk tinggal dan membantu keluarga. Dan jika wanita lain di luar sana kawin dengan banyak pria, ini juga bisa menjadi sinyal kekhawatiran.
Comments
Post a Comment